Wednesday, August 24, 2011

Saya (masih) Sakit


Dulu aku pernah jatuh di atas jalan berbatu.
Ntah aku didorong atau terdorong. Yang manapun itu, intinya aku pernah berjalan di jalan batu.Itu yang musti ditanyakan.

Kenapa aku berjalan di jalan batu? Sudah pasti suatu waktu aku akan terjatuh ketika aku berjalan.

Kalau aku berjalan di jalan rumput, mungkin ketika aku jatuh tidak akan sesakit ketika jatuh di jalan batu.

Ah, mengapa aku berada di jalan batu itu? Sudah barang tentu aku yang membiarkan diri berada di jalan itu. Ntah dipaksa, terpaksa atau memaksa diri.

Lalu, aku merasa sakit.
Ketika aku jatuh dan sakit, aku lalu menyalahkan batu-batu.

Kenapa mereka menghalangi jalanku?

Kenapa batu-batu sialan ini harus membuat aku sakit?

Siapa yang mendorongku jatuh di atas batu-batu itu?

Kenapa dia mendorongku?Kenapa aku dibiarkan jalan di jalan batu?

Kenapa aku harus sampai berdarah gara-gara batu itu?

KENAPA, KENAPA, KENAPA....AKU SAKIT???!!!


Lalu dalam kesakitan klasik itu, aku menangis, meratap, berontak, menendang, meninju, berteriak, memukul, memaki.

Sampai pada titik absolut, ketika semua partikel dalam tubuh sudah menyerah, ketika semua emosi terkuras seperti bak mandi.


Lalu aku diam.
Menatap kosong pada luka yang menganga, berdarah.

Seketika itu juga aku tersadar. Apa pun yang kulakukan aku tetap terluka dan berdarah.
Aku (masih) merasakan sakit dan cuma aku yang bisa merasakan semuanya itu.

Memang banyak yang menemaniku saat itu.

Ada nona hati yang menemani dalam diam (karena dia juga pernah terjatuh dan tahu rasanya).

Ada otak yang terus menerus bersuara menemani (sehingga aku tidak terlalu berasa sunyi).

Ada mr.rain yang sesekali bertandang menyentuh kulitku (memberikan kesegaran).

Ada bapak bayu yang bernafas perlahan menepis debu-debu (dari luka).

Ada sepatu coklat yang tergeletak disamping jalan (memberikan perlindungan buat kaki untuk sementara).

Ada motor berplat B yang melewati jalan yang sama (memberikan tumpangan).

Ada para pengembara yang sesekali berpapasan denganku di tengah jalan (berbagi cerita).


Selama ini mereka selalu ada disepanjang jalanku di jalan berbatu itu, namun aku mengacuhkannya.

Aku terlalu takjub dengan rasi bintang itu. Tak lepas mataku mengikutinya.
Ketika itulah aku tidak melihat yang lain.
Waktu aku terjatuh, aku terpaksa mengalihkan pandanganku sejenak dari rasi.

Sakit memang, tapi karena itu aku bisa melihat yang lain.

Ketika aku sudah berdamai dengan rasa sakit itu dan melihat sekelilingku, maka aku melihat lagi sekeping keajaiban yang selalu muncul di malam hari.

Kepingan yang ternyata sudah lama sekali tidak ku lihat. Bukan karna dia bersembunyi atau disembunyikan.
Aku yang tidak melihatnya.
Karna aku hanya melihat rasi. Sesederhana itu.

Ketika aku menengadahkan kepalu melihat kepingan keajaiban itu, aku menangkap siluet pohon di atas bukit.

Pohon tua bijak yang diam dalam jalinan akar-akarnya, kerutan-kerutan kulitnya, dan kekokohan batangnya.

Dibaliknya ada seonggok rumah kayu sederhana kelabu.

Menarik sekali. Aku ingin mendekati mereka.

Lalu tanpa tendeng aling-aling, ku gerakkan kakiku.


Apa aku bisa berjalan lagi setelah jatuh, luka dan berdarah?
Ya, karna tulangku tidak patah.


Apa aku tidak merasakan sakit lagi?
Tidak, aku masih bisa merasakan perihnya setiap gerakan itu.


Apa luka itu berhenti berdarah?
Tidak, dia tetap berdarah ketika bersenggolan dengan yang lainnya.


Apa aku berada dijalan yang empuk?
Tidak.sekali-kali tidak. Karena jalan menuju pohon dan rumah dibukit harus melewati jalan batu ini.


Apakah aku (masih) sakit?
Ya, AKU (masih) SAKIT

Tanpa tanda titik. Karena aku masih berjalan ke arah pohon dan rumah.

Dan faktanya memang aku masih sakit.Aku akan sampai ke pohon dan rumah. Untuk saat ini rasa sakit sudah tidak terlalu ku pedulikan. Karena aku ingin secepatnya sampai.


*sementara aku (sendiri tanpa otak) masih tumbang akibat perubahan cuaca ekstrim.

No comments:

Post a Comment