Wednesday, August 24, 2011

Bukan Hanya Jepit


Tok tok tok. Itu bunyi sepatu berhak, jenis apapun, laki-laki atau perempuan.

Plop plop plop, biasa jadi juga, nyet nyet nyet, dan kriet kriet kriet. Bisa jadi sendal jepit.
Sebagian besar berasal dari karet. Sebagian lagi bukan.

Tapi coba jawab, sendal jepit apa yang paling banyak dijual? Mulai dari yang paling murah sampai paling mahal.
Karet! Tentu saja.

Baiklah,terus apa hubungannya?

Begini loh. Tandanya manusia-manusia lebih banyak memilih, memakai dan membeli sendal jepit karet. Dia memang nyaman dipakai. Mudah digunakan dan kau bisa menyebutkan berbagai macam alasan lagi mengapa manusia menyukai sendal jepit,terutama karet.

Kau juga bisa menemukan dia dimana-mana. Selain (seharusnya) di hotel-hotel bintang lima, kantor-kantor, tempat-tempat formal. Kau tidak akan diterima masuk ke tempat-tempat itu bersama si jepit. Kau akan disamakan dengan sendal jepit. Tidak pantas untuk masuk tempat-tempat seperti itu.
Tidak level, bahasa awamnya.

Hei, tapi jangan salah. Kau akan menemukan si jepit di tempat dimana sepatutnya dia tidak boleh ada disitu. Bukan karna dia jepit, bukan karna dia karet. Tapi karna tak layak berkasut di situ.

Di muka kubah bertaburan jepit. Tiap pemilik menanggalkan kasutnya. Tidak sopan kata mereka.

Di batu-batu candi jg bersih. Mereka terbiasa tanpa alas kaki.

Di bawah menara lonceng tak ada jejeran jepit. Namun, apakah tak ada jepit disana?

Aku memang tak meneliti di bawah kubah dan batu candi. Tapi di bawah menara lonceng ini semuanya terlihat.

Jari jemari kaki berteriak kesenangan, ribut, menikmati aliran udara bebas dan ruang bergerak. Mereka menjadi liar dan berisik. Aku heran, bukankah berada di bawah menara lonceng itu bearti kau datang untuk berlutut, menikmati dentangnya, cahaya yg menerobos kisi-kisi jendela? Kalau benar begitu, kenapa kau biarkan jemarimu berisik?

Kalau jemari kakimu saja tidak bisa kau kekang, bagaimana kau kekang dirimu dan menundukkan diri di bawah lonceng?

Apa sebegitu pentingkah aliran udara nyaman dan ruang bebas bagi jemari kakimu?
Lebih pentingkah dari ketaklukan terhadap tuanmu?

Dulu leluhurmu harus melepaskan alas kakinya, sekarang kau hanya diminta menunjukkan sikap hati.

Sikap hati macam apa yg kau tunjukkan dengan berulang kali memakai jepit itu ketika kau mengalunkan nada-nada dentang lonceng itu?

Adakah pembelaanmu?

Pada akhirnya ini bukan sekedar masalah sendal jepit. Ini jauh lebih penting dari masalah sebuah alas kaki. Ini masalah hati.

Apa yang kau pakai (bahkan alas kakimu) seharusnya juga bisa meneriakkan apa yang ada dalam hatimu.
Kalau hatimu penuh hormat, kau tau apa yg harus kau pakai sebagai wujud penghormatan.

Jadi, apa alas kakimu?


Catatan:

Aku adalah pemakai sendal jepit. Tapi aku bukan pencinta sendal jepit.
Jepit tidak baik bagi kesehatan, karena dia tidak sesuai dengan kontur kaki.
Manusia memang sering menyukai apa yang tak baik untuknya.

2 comments:

  1. Mer, baru liat tampilan baru blogmu. lebih suka yang ini :P. Btw, aku memlih sepatu cokelat mer sebagai alas kakiku. Cocok dengan warna kulitku hehehe..

    ReplyDelete
  2. like this bgt dah bet. coklat emang eksotis :D

    ReplyDelete