Tuesday, November 15, 2011

Bulan Dua Belas


Seperti bayi yg baru lahir dengan segala ketidak berdayaannya, hanya bisa menangis dan meronta.

Aku menangis dan meronta hingga lenyap tenaga serta akhirnya berserah.

Kalau kamu sudah betul-betul merasa total tidak berdaya, kamu akan berhenti mengandalkan kemampuanmu sendiri dan mulai mempercayai apa yang sudah Tuhan Yesus kerjakan bagimu di kayu salib. - Gary Ricucci

Bulan dua belas pertama aku memutuskan untuk berhenti bersekolah.


Belajar segala sesuatu dari awal lagi. Mulai dari merangkak, merayap, bergantung penuh pada pemeliharaan Tuhan.

Mataku baru terbuka (lagi) melihat dengan jelas KASIH PEMELIHARAAN.

Berjalan dengan tertatih-tatih, tapi Dia tidak pernah menolakku. Lalu aku akhirnya bs menjawab dengan pasti, ANUGERAH KESELAMATAN telah kuterima.

Manusia boleh menolak, mencemooh, mengasihani, berpura-pura, tapi tidak Tuhanku.

Dia yang paling mengerti aku.
Dia tahu pengembara-pengembara mana yang tepat untuk singgah di rumahku.
Dia tahu (si)apa yang paling ku butuhkan.
Dia tahu apa yang mampu ku kerjakan.
Dia tahu sejauh mana aku bisa melangkah.
Dia tahu sejauh mana aku tahan (di)uji.
Dia taruh aku di posisi yang jelas-jelas akan ku tolak karena (manusia) aku tidak mau tersakiti (lagi).

Bahkan sahabat karibku yang kupercayai, yang makan rotiku, telah mengangkat tumitnya terhadap aku. Tetapi aku, Engkau menopang aku karena ketulusanku, Engkau membuat aku tegak di hadapan-Mu untuk selama-lamanya. - Mazmur 41:10,13

Bulan dua belas kedua, aku belajar melepaskan ketergantungan emosi kepada manusia dengan cara yang sulit.

Manusia menilai apa yang bisa ditangkap oleh panca inderanya.
Namun Tuhan melihat jauh dari itu.

Dunia tidak pernah sesederhana seperti dulu, bahkan dunia dibawah menara.

Bahwa manusia adalah manusia, bukan penghuni surga walau dia mengaku memiliki kewarganegaraan ganda.

Hampir-hampir aku terjatuh oleh batu-batu sandungan yang bertebaran di halaman menara.
Namun, kasih karunia Allah sekali lagi menopang.

Ya, aku memang ditempatkan dimenara, ada yang harus aku lakukan disana.
tapi aku tidak sendiri. Pengembara-pengembara selalu berdatangan memberikan banyak harta kepadaku.
Harta yang tidak akan lenyap oleh rayap. Tidak lekang oleh waktu.

Para generator kebahagiaan tak hentinya mengalirkan kebahagiaan dari Sumbernya.

Kebahagiaan yang menguatkan lutut yang lemah oleh udara dingin dan berat bobot tubuh yang terus bertambah seiring dengan bertambahnya kenyamanan semu.

Kekuatan yang membuat kaki dapat berjalan lagi.

Janganlah kecut dan tawar hati,sebab TUHAN, Allahmu, menyertai engkau, ke mana pun engkau pergi. - Yosua 1:9b

Bulan dua belas ketiga, aku belajar (sekali lagi) berjalan dalam iman menuju tempat yang baru di lembah ini.

Aku yakin akan ada bulan dua belas lain yang akan menyusul. 
Dengan keyakinan yang sama pula, aku percaya aku akan terus menerus dikelilingi oleh para pengembara.
Berbeda-beda mungkin. tapi selalu tepat.

Aku selalu mengucap syukur setiap kali aku mengingat kamu, para pengembara.

12.11|11:31

Wednesday, September 28, 2011

Patung 3 Monyet Bijaksana


Hanya, tundukkan dirimu kepada Tuhanmu. Cukup!

Monyet biasa menjadi monyet bijak, ketika dia melakukan 3 hal.
Tutup mata.
Tutup mulut.
Tutup telinga.

Namun kamu adalah manusia, bukan monyet. Maka, kau tidak harus melakukannya.


Tak harus menutup telinga demi tidak mendengar kalimat-kalimat menyulut api dan menyanyat hati.

Tak harus menutup mata pura-pura buta demi tidak melihat kekurangan di sana-sini.

Tak harus menutup mulut demi menahan emosi atau tidak ambil pusing terhadap apa yang terjadi.


Toh Tuhanmu pernah melalui semuanya itu.


DIA tidak menutup telinga bagi teriakan-teriakan jiwa.

DIA tidak menutup mata bagi ketidakberesan dan dosa.

DIA tidak menutup mulut bagi yang terinjak dan kebenaran.


Yang membedakan hanya fokus objek. Apa yang esensi, apa yang kemasan.

Kalau kau masih terusik, terganggu, tersakiti, terluka, kecewa dengan hal-hal kemasan, lihatlah kayu silang itu.


Hanya orang-orang dangkal yang mencemaskan hal-hal dangkal pula. Karena baginya yang dangkal itu seperti laut dalamnya.

Apa yang penting bagimu?

*Ketiga monyet yang (katanya) bijaksana hanya duduk diam. menutup mata, menutup telinga, menutup mulut.
beda dengan Pohon dalam diamnya. daun berdesir ditiup bayu, melagukan hikmat dari mazmur.

18.09.11 | suatu pagi


Wednesday, August 24, 2011

Bukan Hanya Jepit


Tok tok tok. Itu bunyi sepatu berhak, jenis apapun, laki-laki atau perempuan.

Plop plop plop, biasa jadi juga, nyet nyet nyet, dan kriet kriet kriet. Bisa jadi sendal jepit.
Sebagian besar berasal dari karet. Sebagian lagi bukan.

Tapi coba jawab, sendal jepit apa yang paling banyak dijual? Mulai dari yang paling murah sampai paling mahal.
Karet! Tentu saja.

Baiklah,terus apa hubungannya?

Begini loh. Tandanya manusia-manusia lebih banyak memilih, memakai dan membeli sendal jepit karet. Dia memang nyaman dipakai. Mudah digunakan dan kau bisa menyebutkan berbagai macam alasan lagi mengapa manusia menyukai sendal jepit,terutama karet.

Kau juga bisa menemukan dia dimana-mana. Selain (seharusnya) di hotel-hotel bintang lima, kantor-kantor, tempat-tempat formal. Kau tidak akan diterima masuk ke tempat-tempat itu bersama si jepit. Kau akan disamakan dengan sendal jepit. Tidak pantas untuk masuk tempat-tempat seperti itu.
Tidak level, bahasa awamnya.

Hei, tapi jangan salah. Kau akan menemukan si jepit di tempat dimana sepatutnya dia tidak boleh ada disitu. Bukan karna dia jepit, bukan karna dia karet. Tapi karna tak layak berkasut di situ.

Di muka kubah bertaburan jepit. Tiap pemilik menanggalkan kasutnya. Tidak sopan kata mereka.

Di batu-batu candi jg bersih. Mereka terbiasa tanpa alas kaki.

Di bawah menara lonceng tak ada jejeran jepit. Namun, apakah tak ada jepit disana?

Aku memang tak meneliti di bawah kubah dan batu candi. Tapi di bawah menara lonceng ini semuanya terlihat.

Jari jemari kaki berteriak kesenangan, ribut, menikmati aliran udara bebas dan ruang bergerak. Mereka menjadi liar dan berisik. Aku heran, bukankah berada di bawah menara lonceng itu bearti kau datang untuk berlutut, menikmati dentangnya, cahaya yg menerobos kisi-kisi jendela? Kalau benar begitu, kenapa kau biarkan jemarimu berisik?

Kalau jemari kakimu saja tidak bisa kau kekang, bagaimana kau kekang dirimu dan menundukkan diri di bawah lonceng?

Apa sebegitu pentingkah aliran udara nyaman dan ruang bebas bagi jemari kakimu?
Lebih pentingkah dari ketaklukan terhadap tuanmu?

Dulu leluhurmu harus melepaskan alas kakinya, sekarang kau hanya diminta menunjukkan sikap hati.

Sikap hati macam apa yg kau tunjukkan dengan berulang kali memakai jepit itu ketika kau mengalunkan nada-nada dentang lonceng itu?

Adakah pembelaanmu?

Pada akhirnya ini bukan sekedar masalah sendal jepit. Ini jauh lebih penting dari masalah sebuah alas kaki. Ini masalah hati.

Apa yang kau pakai (bahkan alas kakimu) seharusnya juga bisa meneriakkan apa yang ada dalam hatimu.
Kalau hatimu penuh hormat, kau tau apa yg harus kau pakai sebagai wujud penghormatan.

Jadi, apa alas kakimu?


Catatan:

Aku adalah pemakai sendal jepit. Tapi aku bukan pencinta sendal jepit.
Jepit tidak baik bagi kesehatan, karena dia tidak sesuai dengan kontur kaki.
Manusia memang sering menyukai apa yang tak baik untuknya.

Saya (masih) Sakit


Dulu aku pernah jatuh di atas jalan berbatu.
Ntah aku didorong atau terdorong. Yang manapun itu, intinya aku pernah berjalan di jalan batu.Itu yang musti ditanyakan.

Kenapa aku berjalan di jalan batu? Sudah pasti suatu waktu aku akan terjatuh ketika aku berjalan.

Kalau aku berjalan di jalan rumput, mungkin ketika aku jatuh tidak akan sesakit ketika jatuh di jalan batu.

Ah, mengapa aku berada di jalan batu itu? Sudah barang tentu aku yang membiarkan diri berada di jalan itu. Ntah dipaksa, terpaksa atau memaksa diri.

Lalu, aku merasa sakit.
Ketika aku jatuh dan sakit, aku lalu menyalahkan batu-batu.

Kenapa mereka menghalangi jalanku?

Kenapa batu-batu sialan ini harus membuat aku sakit?

Siapa yang mendorongku jatuh di atas batu-batu itu?

Kenapa dia mendorongku?Kenapa aku dibiarkan jalan di jalan batu?

Kenapa aku harus sampai berdarah gara-gara batu itu?

KENAPA, KENAPA, KENAPA....AKU SAKIT???!!!


Lalu dalam kesakitan klasik itu, aku menangis, meratap, berontak, menendang, meninju, berteriak, memukul, memaki.

Sampai pada titik absolut, ketika semua partikel dalam tubuh sudah menyerah, ketika semua emosi terkuras seperti bak mandi.


Lalu aku diam.
Menatap kosong pada luka yang menganga, berdarah.

Seketika itu juga aku tersadar. Apa pun yang kulakukan aku tetap terluka dan berdarah.
Aku (masih) merasakan sakit dan cuma aku yang bisa merasakan semuanya itu.

Memang banyak yang menemaniku saat itu.

Ada nona hati yang menemani dalam diam (karena dia juga pernah terjatuh dan tahu rasanya).

Ada otak yang terus menerus bersuara menemani (sehingga aku tidak terlalu berasa sunyi).

Ada mr.rain yang sesekali bertandang menyentuh kulitku (memberikan kesegaran).

Ada bapak bayu yang bernafas perlahan menepis debu-debu (dari luka).

Ada sepatu coklat yang tergeletak disamping jalan (memberikan perlindungan buat kaki untuk sementara).

Ada motor berplat B yang melewati jalan yang sama (memberikan tumpangan).

Ada para pengembara yang sesekali berpapasan denganku di tengah jalan (berbagi cerita).


Selama ini mereka selalu ada disepanjang jalanku di jalan berbatu itu, namun aku mengacuhkannya.

Aku terlalu takjub dengan rasi bintang itu. Tak lepas mataku mengikutinya.
Ketika itulah aku tidak melihat yang lain.
Waktu aku terjatuh, aku terpaksa mengalihkan pandanganku sejenak dari rasi.

Sakit memang, tapi karena itu aku bisa melihat yang lain.

Ketika aku sudah berdamai dengan rasa sakit itu dan melihat sekelilingku, maka aku melihat lagi sekeping keajaiban yang selalu muncul di malam hari.

Kepingan yang ternyata sudah lama sekali tidak ku lihat. Bukan karna dia bersembunyi atau disembunyikan.
Aku yang tidak melihatnya.
Karna aku hanya melihat rasi. Sesederhana itu.

Ketika aku menengadahkan kepalu melihat kepingan keajaiban itu, aku menangkap siluet pohon di atas bukit.

Pohon tua bijak yang diam dalam jalinan akar-akarnya, kerutan-kerutan kulitnya, dan kekokohan batangnya.

Dibaliknya ada seonggok rumah kayu sederhana kelabu.

Menarik sekali. Aku ingin mendekati mereka.

Lalu tanpa tendeng aling-aling, ku gerakkan kakiku.


Apa aku bisa berjalan lagi setelah jatuh, luka dan berdarah?
Ya, karna tulangku tidak patah.


Apa aku tidak merasakan sakit lagi?
Tidak, aku masih bisa merasakan perihnya setiap gerakan itu.


Apa luka itu berhenti berdarah?
Tidak, dia tetap berdarah ketika bersenggolan dengan yang lainnya.


Apa aku berada dijalan yang empuk?
Tidak.sekali-kali tidak. Karena jalan menuju pohon dan rumah dibukit harus melewati jalan batu ini.


Apakah aku (masih) sakit?
Ya, AKU (masih) SAKIT

Tanpa tanda titik. Karena aku masih berjalan ke arah pohon dan rumah.

Dan faktanya memang aku masih sakit.Aku akan sampai ke pohon dan rumah. Untuk saat ini rasa sakit sudah tidak terlalu ku pedulikan. Karena aku ingin secepatnya sampai.


*sementara aku (sendiri tanpa otak) masih tumbang akibat perubahan cuaca ekstrim.

Apakah Kamu Mencintaiku? - kartu yang terlambat datang


Ya ya ya. Hari kasih sayang sudah tiba.
Coklat,kartu,boneka,bunga,makan malam romantis,bertebaran dimana-mana.
Kata-kata 'aku sayang kamu' tersebar dalam banyak bahasa dan simbol.
Tanpa mengurangi makna dan tidak bermaksud meniadakan semua hal diatas, pertanyaan berikut tetap ada ditulisan ini.

APAKAH KAMU MENCINTAIKU?

Beberapa orang terlihat meninggalkan pos pelayanannya untuk duduk bersama pasangannya pada saat kotbah. Sementara tetap duduk manis disana ketika datang beribadah sendiri atau pasangannya tidak hadir.

Beberapa yang lain selalu hadir dalam berbagai pembinaan, persekutuan, ibadah ketika pasangannya ada. Sementara tidak terlihat batang hidungnya ketika salah satu dari mereka tak ada.

Beberapa yang lain berikutnya aktif melayani di berbagai acara, kepanitiaan, grup misi ketika sedang 'membidik' calon pasangan. Sementara urut tiba-tiba seperti tanda awal tsunami ketika sang calon sudah 'terpanah'.

Beberapa yang lain sibuk menampilkan aktivitas kasih berlebihan di depan publik dengan pasangannya. Sementara mati kutu di depan publik seperti patung ketika pasangannya tidak ada.

Pasangan menjadi belahan jiwa yang teramat penting. Jika dia tidak ada, maka tak berfungsilah kita sebagai manusia.

Jika dia ada, maka kita (rentan) menjadi tidak berfungsi sebagai manusia.Itulah yang terjadi ketika manusia jatuh cinta.

Bukankah manusia harus memenuhi tujuan (fungsi) hidupnya?
Memuliakan Allah dan menikmati-Nya.

Jika kemudian TUHAN dapat digeser oleh pasangan, maka baca lagi pertanyaan berikut.

APAKAH KAMU MENCINTAIKU?

Jika pasangan yang bertanya sudah pasti jawabannya ya.
Jika TUHAN yang bertanya, apa jawabmu?

Bila kau benar-benar sayang padaku
.Bila kau benar-benar cinta.
Tak perlu kau katakan semua itu, cukup tingkah laku.
Sekarang apalah artinya cinta, bila hanya dibibir saja.
Cinta itu bukanlah main-mainan, tapi pengorbanan.

Ya, cinta memang bukan apa2 jika hanya di bibir. Cinta memang perlu dinyatakan. Dalam perkataan, pikiran, dan tindakan.

Alkitab menjadi bukti perkataanNya.
Kayu silang sudah menjadi bukti tindakanNya.

Jadi apa jawabmu, APAKAH KAU MENCINTAIKU?

Pikirkan, ucapkan, dan kerjakan.